Friday, January 25, 2013

Baca Nii yux :D

suara miaw
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam
hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun
menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap
hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka,
suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-
satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-
benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu
sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun
yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya
yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal
melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas
meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia
memakai komputerku meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga
marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya
dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan
teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun
tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya
dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi
rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun
ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang
anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit.
Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar
aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang
tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku
bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang
menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab
dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang
mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku
memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga
membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja
dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku
sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku
berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali
mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di
salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak
kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus
membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku
ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha
mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan
aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu.
Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya
menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski
masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah
membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet
dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup
telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa
malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku
ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang
dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap
mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam,
aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali
berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa
tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika
suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa
saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata
seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya
menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir
di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku
tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah
yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang
adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi
bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah
yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak
ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku
sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan
mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari
baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang
tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi
dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak
teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali
aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum
hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar
airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya,
aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.
Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras
membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid
yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu
membuatku berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang
malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan
karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh
keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya,
karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku
tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang
kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor
cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-
temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun
dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga
besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku
malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat
mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan
ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis
di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal
karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi
kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log
out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-
tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di
sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa
alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote
televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari
bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah
cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena
semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku
marah karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami
yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah
menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya
dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku
dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-
belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada
dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan
tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa
besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer
ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir
beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya
ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak
pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu
sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan
bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya
pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh
dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa
banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan
seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi
suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu,
sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung
jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak
bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung
sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik
anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya
sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak
hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma
selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan
selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan
semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah
tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti
Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan
Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun
dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha
tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-
orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya
lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari
hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku
dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku
selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua
hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang,
cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya.
Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya,
akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar
bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta
itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu
seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai
kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah
yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan
sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa
bebas dari cintanya yg begitu tulus ..


:D :)

suara miaw / Author & Editor

Aku adalah apa yang aku pikirkan

0 comments:

Post a Comment

Coprights @ 2016, Edited By Taufiq Nugraha| Templatelib