KISAH MISTERI, DI KUNTIT DEDEMIT GUNUNG SALAK
Gara-gara ada salah seorang peserta wanita yang membuang pembalut
sembarangan, rombongan pecinta alam itu mengalami rentetan kejadian
aneh. Bahkan, si peserta yang membuang pembalutnya itu terus dikuntit
oleh dedemit gunung Salak. Apa yang terjadi selanjutnya…?
Sebagai seorang pendaki, banyak kejadian mistik
yang kualami ketika aku mendaki gunung. Tapi, kisah yang kutulis ini
adalah yang paling menyeramkan dalam riwayat pendakianku ke sejumlah
gunung. Peristiwa ini menyebabkan trauma selama 1 tahun lebih. Berikut
kisahnya:....................
Seperti biasa, setiap tahun
organisasi kami, Mahasiswa Pecinta Alam, pada sebuah perguruan tinggi
swasta di Jakarta, selalu mengadakan diklat atau pelatihan untuk calon
anggota baru. Kali ini, kegiatan tersebut diadakan di gunung Salak,
Sukabumi.
Dari awal pemberangkatan menuju lokasi pertama,
keadaan baik-baik saja. Semua berjalan sesuai schedule yang telah
ditetapkan panitia. Kebetulan, aku menjadi mentor pembimbing untuk 1
grup, yang terdiri dari Keni, Irfan dan Agung. Tugasku adalah mengawasi
dan membimbing mereka selama dalam pendakian. Sedangkan 2 grup lagi,
dipimpin oleh Bayu dan Hendi. Jumlah peserta termasuk senior dan panitia
tak kurang dari 20 orang.
Perjalanan menuju lokasi pendakian
pertama ditempuh sekitar 2 Km. Itupun baru tahap pemanasan. Para catas
(istilah untuk calon anggota) harus berjalan sejauh 2 Km. dengan membawa
beban carrier rata-rata 9 – 12 Kg/orang. Selama dalam perjalanan,
tampak sekali aku lihat para catas ini sangat kelelahan. Apalagi Keni
yang kebetulan catas wanita satu-satunya. Ketika perjalanan mulai
memasuki perhutanan, terjadi sedikit kekacauan pada Keni. Tiba-tiba dia
ketakutan sambil memegang tangan rekan sesama cates.
“Ada apa Ken?” tanyaku, agak jengkel juga.
“Lihat, Kak Ida! Di sana ada orang tinggi besar menghadang jalan kita,” jawab Keni.
Tangannya gemetar menunjuk ke depan. Tapi aku dan yang lainnya tidak
melihat orang yang dimaksudnya. “Mana Ken, kamu jangan bercanda ya. Ayo,
kita jalan lagi!” perintahku.
“Tidak…tidak! Aku takut, Kak!” bantah Keni, setengah merengek.
“Kalau kamu tidak melanjutkan pendidikan ini, kamu batal jadi catas.
Lagian kamu jangan nyusahin gitu, dong!” kataku mengingatkan. Keni
hampir menangis. Untunglah, karena bujukan dari beberapa teman catas dan
semangat dari para senior, akhirnya dia mau melanjutkan perjalanan.
Untuk menuju titik pendakian pertama, jalan yang kami lalui sudah
sedikit sulit, apalagi para senior cowok harus membuka jalur terlebih
dahulu. Ditambah lagi rute yang becek dan licin karena seringnya turun
hujan. Ketika hari menjelang sore, kami harus mencari lokasi
peristirahatan. Setelah mendapat lokasi yang cukup baik, kami mulai
memasang tenda. Ada sebagian yang membuat makan malam, dan tak lupa
membuat perapian untuk penerangan dan menghangatkan badan. Setelah rapi
semuanya, para senior mengumpulkan catas untuk evaluasi dan pelaksanaan
jadwal besok hari. Waktu itu, jelas sekali kulihat wajah Keni yang pucat
dengan pandangan kosong.
“Kamu kenapa, Ken?” tanyaku, tapi Keni diam saja.
Untuk kedua kalinya aku bertanya, “He, ngapain kami bengong saja. Masuk
nggak tuh pelajaran?” bentak Jawir sebagai panitia pelaksana lapangan.
Keni tersentak kaget. “I…iya, Kak!” geragapnya.
Setelah evaluasi selesai, para catas dipersilahkan kembali ke tendanya
masing-masing. Begitu juga dengan para senior. Namun, belum sampai
setengah jam kami beristirahat, tiba-tiba terdengar suara Keni berteriak
keras. “Tolooong…!!” Sontak kami berhamburan keluar menghampiri
tendanya. Apa yang terjadi? Kami melihat wajah Keni berubah menyeramkan.
Matanya melotot ke atas. Ketika salah seorang dari kami menanyakan
keadaannya, tiba-tiba Keni malah tertawa keras. Namun, itu bukan suara
tawanya yang asli. Tawa itu seperti suara seorang lelaki. Lebih aneh
lagi, Keni juga bisa tertawa dengan suara wanita cekikikkan mirip Mak
Lampir dalam sintron. Akhirnya, kami sadar kalau Keni kerasukan.
“Siapa kamu ini sebenarnya?” tanya Jawir yang memang paling senior dari kami.
Keni tertawa dan menyeringai. “Aing nu boga tempat ieu (aku yang punya
tempat ini),” jawabnya dengan suara bariton yang berat milik laki-laki.
“Kami mohon maaf apabila berbuat kesalahan. Tapi tolong bebaskan teman kami ini. Dia tidak tahu apa-apa,” bujuk Jawir.
Keni hanya diam. Anehnya, beberapa saat kemudian Keni berubah tenang.
Namun, ketika aku memintanya itirahat di dalam tenda, tiba-tiba Keni
kembali lagi berteriak dan meronta-ronta. Sontak Jawir mendekap tubuh
Keni. Bahkan karena takut terjadi sesuatu, kami bersepakat mengikat kaki
dan tangan Keni. Ya, kami takut Keni akan lari dan masuk jurang. Sampai
pagi harinya, kami tidak tidur hanya menunggui Keni yang
sebentar-bentar kerasukan dan mengamuk. Namun, karena schedule harus
dilaksanakan, maka kami harus berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Kali ini, rute yang kami tempuh sangat sulit. Hujan yang turun
mengakibatkan jalan setapak becek dan licin, sehingga kami harus ekstra
hati-hati. Karena sulitnya medan, perjalanan kami jadi sangat lambat dan
melelahkan. Akhirnya kami memilih berhenti ketika melihat Keni
tiba-tiba terjatuh. Beberapa peserta lelaki membopong tubuh Keni yang
terjatuh. Anehnya, Keni meronta-ronta sambil mendengus seperti seekor
harimau. “Aku suka dengan anak ini!” kata makhluk itu dengan suara
sangat menakutkan.
Kami kembali sibuk mengurusi Keni. Rupanya demit ini menyukai Keni dan selalu mengikutinya.
Dengan sisa-sisa keberanian para senior bergantian mengintrogasi si
demit yang tentu saja dengan bahasa Sunda. Akhirnya, diketahui mengapa
demit itu selalu mengikuti Keni. Rupanya, Keni telah membuang bekas
pembalut sembarangan. Demit tersebut sangat bandel, tidak bisa disuruh
keluar. Hal ini memaksa Sapri, senior yang mengerti spiritual mengusir
dengan doa-doa. Tetapi tetap saja demit itu bersamayam di tubuh Keni.
Aku yang tak tega melihat Keni, langsung membacakan doa-doa
ditelinganya. Ketika baru selesai, tiba-tiba mata Keni melotot ke arahku
sambil tertawa dengan suara lelaki yang mengeramkan. “Kamu gadis cantik
sekali…!” kata demit yang bersemayam dalam tubuh Keni. Sontak aku
menjauhi Keni, karena dia sepertinya ingin menyentuhku. Dengan sigap
pula Ema, teman seniorku, langsung menutup mata Keni karena pandangannya
tak lepas dariku.
Karena keadaan Keni yang tambah buruk,
pendakian akhirnya kamu tunda. Kami pun kembali membuka tenda. Jadwal
yang telah disusun tidak terlaksana dengan baik. Pagi harinya, tepatnya
hari ketiga, kami kembali lagi berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Sebelum berangkat Hendi, teman kami, melihat ada seekor anjing berbulu
putih di balik semak-semak.
“Aneh, kok ada anjing hutan menghampiri tenda kita?” tanya Hendi.
“Mungkin saja dia mencium makanan yang kita bawa,” jawab Sapri.
Tanpa menaruh curiga, kami pun segera melanjutkan pendakian. Kali ini
pendakian benar-benar sulit. Selain cuaca yang tidak mendukung karena
hujan turun dengan lebatnya, juga kondisi peserta yang mulai kurang vit.
Hal yang tidak masuk akal, di tengah perjalanan, dan derasnya hujan
yang memaksa kami harus ekstra hati-hati itu, aku dikagetkan dengan
kemunculan Keni yang tiba-tiba berjalan dengan cepat dan sudah berada di
depanku.
“Yang lainnya mana, Ken?” tanyaku, tanpa menaruh curiga.
“Mereka masih jauh, Kak. Ayo, kita jalan duluan dan tetap semangat, Kak!”
Kata-kata Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya
terdiam sambil terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa.
Akhirnya, aku dan Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran
karena semak yang kami pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali
dengan sendirinya.
“Kita tunggu yang lainnya,” kata Jawir yang
sudah berhasil aku susul bersama Keni. Tak berapa lama, rombongan paling
belakang telah sampai.
“Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas, kok bisa tertutup kembali?” tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan.
“Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!” ujar Eko yang mencoba tetap tenang.
Seringnya terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan
jangan sampai terpisah jauh. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Sementara itu, sambil terus berdoa, tak sedetikpun
pengawasanku lepas dari Keni yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya.
Karena kondisi yang tak memungkinkan dan haripun menjelang sore, kembali
kami membuka tenda di lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.
Hari keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara.
Ketika hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki
demit yang selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa
saja yang dekat dengannya. Untunglah, Jawir dan Sapri dengan sigap
menelikung tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat
kuat, maka para senior dan para catas pun ikut memeganginya. Mereka
membopong Keni ke tenda panitia yang lebih besar. Apa yang terjadi
selanjutnya?
Sangat sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta
dan menendangi sambil terus mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga
lelaki tak sanggup menahannya. Setelah tak ada yang sanggup
memegangginya, sbentar-bentar tubuh Keni terangkat ke atas dan
melayang-layang, seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata. Beberapa
teman senior berusaha menahannya. Keni berteriak keras dan tentu saja
membuat kami yang wanita menangis histeris.
“Tolong….jangan bawa aku!” teriak Keni.
Kenyataan yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti
mengalami penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar
kemudian jatuh terempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak
henti-hentinya kami mengumandangkan takbir. Sedang aku sendiri tak tahu
lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Sampai lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan
lebih sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi.
Wanita mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun
dalam penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila
demit itu keluar dari tubuhnya.
“Ema..awas dia mau masuk ke tubuh
kamu!” teriak Keni memperingatkan Ema. Kesal dengan peringatan itu,
membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia menyiksa Keni dengan
ulahnya yang semakin menjadi-jadi.
Mony yang sedari tadi sibuk
dengan komat-kamitnya dengan spontan langsung mengumandangkan adzan pada
jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan menjadi hening, karena suara
adzan. Kami yakin demit itu takut dengan adzan. Dia mungkin telah pergi
meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah, kami bersyukur karena Allah
masih melindungi kami. Tapi, dugaan kami salah. Sepertinya demit itu
sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan Mony. Dia kembali dengan
ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak luput Mony kena sedikit
bogemnya.
“He, kamu tidak takut dengan Allah?!” bentak Jawir.
“Tidak!” jawab demit itu meminjam mulut Keni.
“Masuk neraka kamu! Kafir kamu!” susul Sapri.
Iblis malah tertawa dengan sangat menyeramkan.
Pagi harinya, kami selaku panitia memutuskan untuk kembali turun
mencari perumahan penduduk, dengan maksud untuk menyelamatkan Keni,
karena walaupun hari telah pagi, demit itu tetap mengikuti dan menyiksa
Keni. Perjalanan turun diwarnai dengan pertarungan yang hebat, bahkan
aku yang berlari paling belakang sempat carrier ditarik demit sialan
itu, hampir-hampir aku terjerembab jatuh.
Bahkan, lewat mulit
Keni demit itu mengancam bila telah lewat siang hari dia akan mengundang
teman-temannya yang lebih banyak lagi. Ketika kami hampir sampai di
pemukiman penduduk, tiba-tiba demit sial berpindah merasuki tubuh Rani.
“Jangan….!” teriak Rani sambil menangis histeris. Rupanya, dengan jelas
Rani melihat makhluk tinggi besar hitam dan berambut panjang itu.
Karena tersadar, demit itu tidak berhasil merasuki tubuh Rani.
Singkat cerita, akhirnya Keni ditangani salah seorang supranturalis di
kaki gunung Salak. Setelah ditangani, keadaan Keni mulai tenang dan
tidak kacau lagi. Setelah itu kami memutuskan untuk segera kembali ke
Jakarta. Syukur Alhamdulillah, demit itu sudah tidak mengganggu lagi.
Dalam perjalanan pulang, aku yang tertidur di bus bermimpi Keni diikuti
demit itu sambil menyeringai ke arahku. Sontak aku terbangun. Rupanya,
Keni kembali mengamuk di bus. Sampai di kampus, Keni langsung dibawa ke
orang pintar. Orang pintar tersebut mengatakan, bahwa makhluk itu
dulunya seorang jawara sakti dan melarikan diri ke gunung Salak sebagai
tempatnya yang baru. Keni disukai makhluk jahanam ini, karena akan
dijadikan pendamping di alam kegelapan. Karena itulah, ke mana pun dia
pergi, makhluk itu akan mengikutinya.
Saat berusaha mengobati
Keni, orang pintar tersebut menyuruh makhluk itu untuk kembali ke
asalnya, tapi dia tidak mau kalau tidak di antar. Sudah barang tentu,
tak satupun teman-teman yang mau mengantar, karena kami takut itu hanya
jebakan saja. Dengan kejadian tersebut, salama satu tahun lebih, aku
merasa diikuti oleh makhluk itu. Sampai-sampai ke kamar mandi pun harus
ditemani oleh kakak atau ibuku.
Sampai kini aku tidak tahu
bagaimana nasib Keni selanjutnya. Namun, sempat kudengar kabar bahwa dia
menjadi seorang muslimah yang taat. Mungkin, hanya dengan pilihan ini
dia bisa melakukan penyembuhan untuk dirinya.
0 comments:
Post a Comment